Gharar dalam konteks keuangan syariah merupakan elemen ketidakpastian atau keraguan dalam transaksi yang bisa merugikan salah satu pihak. Konsep ini dilarang karena bertentangan dengan prinsip keadilan dan kejelasan yang diajarkan dalam Islam. Melalui berbagai literatur dan sumber seperti Al-Qur'an dan Hadits, gharar telah dijelaskan sebagai tindakan yang mengandung ketidakjelasan, spekulasi, atau penipuan, di mana salah satu pihak mungkin tidak memahami secara pasti objek transaksi yang dihadirkan.
Gharar adalah hal yang mendatangkan kerugian pada transaksi, demikian pula dengan riba dan maysir yang selalu berusaha dihindari oleh lembaga keuangan syariah. Meskipun bertalian erat, namun ketiga memiliki beberapa perbedaan.
Riba adalah kelebihan nominal pengembalian hutang pokok yang dibebankan pada peminjam. Sedangkan gharar adalah ketidakjelasan objek, penyerahan, maupun harga. Keduanya berbeda dengan maysir, suatu permainan adu keberuntungan (judi), dimana pemenang akan mendapatkan keuntungan dari peserta lain.
Meskipun berbeda, namun gharar dan maysir memiliki keterkaitan karena judi merupakan permainan yang mengandung ketidakjelasan dan ketidakpastian. Dengan demikian, maysir adalah bagian dari gharar.
Gharar dalam transaksi keuangan syariah dapat dibedakan menjadi beberapa jenis berdasarkan tingkat ketidakpastian atau ketidakjelasan yang ada:
Gharar ini melibatkan ketidakpastian yang sangat besar atau fundamental dalam suatu transaksi. Tindakan ini memunginkan timbulnya kerugian antara pihak yang berakad serta mungkin akan memicu perselisihan di kemudian haru.
Misalnya, menjual barang yang belum ada, belum layak dijual, atau belum bisa dipastikan keberadaannya. Transaksi seperti ini jelas dilarang dalam Islam karena menyebabkan kerugian besar bagi salah satu pihak.
Gharar ini bersifat kecil atau ringan dan mungkin sulit dihindari dalam kehidupan sehari-hari. Ketidakpastian ini tidak berdampak signifikan pada keadilan transaksi dan dianggap masih diperbolehkan.
Sebagai contoh, ketidakpastian kecil dalam proses pengiriman barang yang dapat dimaklumi oleh kedua belah pihak.
Larangan gharar dalam keuangan syariah bertujuan untuk memastikan bahwa semua transaksi dilakukan dengan transparan, adil, dan tanpa adanya unsur penipuan atau ketidakjelasan yang dapat merugikan salah satu pihak. Gharar yang besar memungkinkan adanya eksploitasi atau ketidakadilan, terutama ketika satu pihak memiliki informasi lebih banyak atau kontrol lebih besar daripada pihak lainnya. Hal tersebut meningkatkan risiko bagi pelaku ekonomi, mempengaruhi harga barang dan jasa, serta menciptakan ketidakadilan. Tak hanya itu, gharar sering kali terkait dengan spekulasi yang tidak sehat dan praktik riba atau judi. Itulah mengapa, dampaknya juga dapat merusak kepercayaan dalam sistem keuangan dan perbankan, yang pada akhirnya menghambat pertumbuhan ekonomi.
Dengan menghindari gharar, Islam mengajarkan prinsip keadilan dan kepastian hukum dalam transaksi keuangan, sehingga kedua belah pihak yang bertransaksi bisa memahami hak dan kewajibannya dengan jelas.
Meski begitu, dalam beberapa kasus, gharar diperbolehkan saat dalam kondisi berikut:
Ada kebutuhan mendesak (hajat): Seperti iuran jaminan kesehatan yang penting meskipun risiko terjadinya tidak pasti.
Gharar dalam akad tabarru’ (sosial): Contoh, sumbangan di kotak amal yang tidak jelas objeknya, tetapi tidak ada kerugian materiil.
Gharar tidak pada inti objek akad: Misalnya, jual beli pohon yang buahnya tidak menjadi objek utama transaksi.
Bergabunglah bersama kami di PT Eka Akar Jati, mitra eksklusif Bank Syariah Indonesia, untuk membuka kesempatan karir Anda di lingkungan perbankan syariah yang dinamis dan penuh makna. Jika Anda berminat untuk bekerja dan berkembang dalam industri keuangan yang berbasis syariah, daftarkan diri Anda sekarang untuk mendapatkan update terbaru terkait lowongan kerja. Klik di sini untuk informasi lebih lanjut!
Selamat datang di Contact Person
PT Eka Akar Jati